DELEIGEVEN HISTORICULTURAM

HISTORY IS ONE OF THE BEST INFORMATION FOR OUR CURRENT & FUTURE

DELEIGEVEN GUIDELINES & REVIEW

Translate

Rabu, 05 September 2018

THE FORGOTTEN MASSACRE




Jakarta, September 1965. Kapal kargo tempat Kasper bekerja sebagai asisten koki berlabuh di Tanjung Priok. Selama berada disana, pemuda Denmark ini menjalin persahabatan dengan banyak pelaut dari berbagai bangsa. Dia bahkan terlibat dalam hubungan cinta segitiga dengan seorang gadis blasteran Belanda-Padang. Semuanya tampak normal, sampai Kasper sadar bahwa dia berada pada waktu dan tempat yang salah.

-------------------------------------------------------------------------------------------------


Novel ini perhatian saya sebab menceritakan tentang salah-satu kisah kelam di negeri ini yang hingga sekarang masih sangat misterius. Awalnya saya berpikir bahwa saya akan disuguhi oleh kisah petualangan menegangkan yang penuh dengan adegan bersembunyi, melarikan diri, atau menegosiasikan keselamatan diri si tokoh utama dan kawan-kawannya, terlebih lagi saat membaca sinopsis sampul belakang buku ini. Namun, saya hampir tidak menemukan semuanya itu dalam cerita novel ini.

Tidak ada lari-larian, tidak ada peluru, tidak tembak-menembak, tidak ada cerita tentang persembunyian, ataupun bagaimana mereka menegosiasikan keselamatan mereka pada aparat dalam 99% cerita dalam novel ini. Kita hanya dapat menemukan semua itu dilembaran-lembaran akhir novel ini sebab novel ini fokus bercerita tentang bagaimana cinta dan persahabatan datang seiring dengan kuantitas dan kualitas kebersamaan yang semuanya diawali oleh keputusan nekat sang tokoh utama yang bernama Kasper untuk mengelilingi dunia dengan kapal dagang. Cinta dan persahabatan itu tidak selalu berjalan manis karena dibatasi oleh pekerjaan masing-masing tokoh, walaupun pekerjaan jugalah yang menyatukan mereka. Semuanya itu diceritakan dengan alur yang sangat lambat namun tidak mampu menunda jari saya untuk membalikan lembaran demi lembaran untuk melanjutkan membaca kisah ini.

Saya cukup terkesima sebab ditengah-tengah kisah yang diceritakan dengan alur yang sangat perlahan ini terselip cerita dan dialog yang melibatkan tokoh-tokoh CIA. Woow!! Pikir saya. Baru kali ini saya membaca sebuah novel asing yang terang-terangan menyebut bahwa agensi intelijen milik negeri Paman Sam itu adalah dalang dari carut-marut politik di Indonesia pada masa-masa puncak perang dingin yang menjadi penutup kisah-kisah manis para tokoh utama.

Anda memang akan kecewa jika mengharapkan alur cerita yang cepat dan penuh dengan pembantaian serta deru senjata dari novel ini, sebab sebenarnya novel ini adalah novel cinta. Cinta seorang pemuda Denmark pada gadis Indonesia yang sering ditemuinya yang ditengah-tengah mereka ada pemisah yang bernama sahabat. Kisah cinta dan persahabatan ini uniknya terjalin manis tanpa berbenturan satu-sama lain hingga berakhir saat mereka melewati bulan September 1965 bukan karena mereka tidak saling mencintai lagi atau karena mereka lebih memilih persahabatan melainkan karena adanya keadaan dan plot rumit yang tidak mereka mengerti yang bernama politik.

Novel ini masih jauh dari kata tegang walaupun berlatarkan masa-masa terkelam dalam sejarah Indonesia. Kehidupan disekitar pelabuhan dan penyelundupan barang-barang elektronik yang dilakukan Kasper memang terdengar cukup menegangkan jika kita bayangkan, tetapi Jorgensen tidak menampilkan ketegangan yang berarti dalam kisah-kisah Kasper tersebut, entah dia gagal atau memang sengaja memperhalusnya. Selebihnya dari novel ini adalah tentang kisah cinta dan persahabatan dan tentang perbedaan-perbedaan yang mereka miliki yang kemudian menghantarkan mereka memasuki bulan berdarah di tahun 1965. Tidak ada ketegangan apapun sebelum itu. Tapi, saya cukup kaget dan kagum pada Jorgensen saat membaca penuturan beraninya melalui novel ini tentang bagaimana keserakahan Amerika dan tentang keadaan pada masa itu dimana dalam waktu yang lama semua yang tampak normal, baik bagi orang Indonesia maupun orang asing, tapi hanya dalam hitungan satu hari semuanya pun berubah. 

Melalui novel ini Jorgensen memberi-tahu kita bahwa saat itu banyak orang-orang kehilangan nyawa karena mereka tidak sempat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangankan rute yang aman untuk melarikan diri, siapa teman dan siapa lawan saja mereka tidak tahu, termasuk juga apakah mereka menjadi incaran aparat atau tidak. Orang-orang pada masa itu sama sekali tidak tahu bahwa menandatangani buku tamu dalam acara-acara dansa bisa membuat mereka kehilangan nyawa.

Jorgensen menceritakan dengan perlahan namun sangat nyata bahwa suatu keadaan yang normal bisa berubah dalam sekejap akibat kekuasaan dan politik, dan perubahan kekuasaan politik yang mendadak selalu meminta darah. Kemudian, kekuasaan itu akan menggunakan semua daya dan upaya demi mencari dan memberikan alasan untuk membenarkan tindakan mereka, dan itu tercerminkan dari kalimat yang diucapkan seorang tentara pada tokoh utama setelah senapan anggota-anggotanya menyalak membelah sunyinya malam,

Kamu harus memahami bahwa hal itu diperlukan disini”.

Kekuasaan itu memang tidak perlu berkuasa selamanya, cukup beberapa dekade saja, dan semua kengerian tentang pembantaian itupun berlalu dan terlupakan.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



INFORMASI PENULIS

“The Forgotten Massacre” adalah novel yang ditulis oleh penulis berkebangsaan Denmark, Peer Holm Jorgensen. Jorgensen lahir di Aars, Denmark, pada 3 Maret 1946 dan dibesarkan di Kopenhagen, Denmark.

Pada usia 16 tahun, Jorgensen remaja nekat meninggalkan bangku sekolah dan berkeliling dunia dengan kapal dagang. Dengan kapal dagang “Nicolin”, Jorgensen berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok pada 1963. Jorgensen juga bekerja di kapal dagang “Jesse” dan “Clementine” pada tahun 1965. Beliau baru meninggalkan Indonesia pada tahun 1966. Setelah itu, Jorgensen melanjutkan perjalanannya mengelilingi dunia. Ini membuatnya memahami situasi politik berbagai negara pada masa itu yang kental dengan berbagai pemberontakan dan huru-hara. Usai puas berkeliling dunia dengan kapal dagang, Jorgensen menekuni berbagai profesi di berbagai Negara. Beliau lalu kembali ke Denmark dan membuka usaha penerbitan bernama “Isotia” yang khusus menerbitkan buku-buku yang berkaitan tentang sejarah dan pandangan-pandangan tentang masa depan umat manusia.

Novel “The Forgotten Massacre” adalah buku ketiga yang ditulis Jorgensen. Beliau mulai menulis novel ini 5 tahun sebelum jatuhnya Orde Baru, tepatnya pada tahun 1993. Sayangnya, saat itu Jorgensen belum memiliki data yang cukup untuk menguji hipotesa-nya tentang apa dan siapa dalang tragedi itu sehingga Jorgensen harus menyimpan naskahnya dalam waktu yang lama. Barulah setelah arsip-arsip resmi Amerika Serikat bisa diakses Jorgensen memiliki tambahan data dan semakin yakin dengan hipotesanya. Melalui novel ini, Jorgensen dengan berani menyebut nama CIA, meskipun berkata bahwa beliau menulis buku ini tanpa maksud untuk menuduh siapapun, namun Jorgensen memang mengindikasikan bahwa Amerika Serikat lah dalang dari peristiwa 1965 ini.

Jorgensen menegaskan bahwa “apa yang terjadi di Indonesia pada akhir 1965 tidak diciptakan oleh orang Indonesia sendiri, tapi oleh pihak-pihak lain”. Bagi Jorgensen, negara adikuasa adalah negara yang “…gemar bermain Russian Roulette dengan negara-negara lain” dan "memaksa agar semuanya tampak sama," yaitu mengikuti gayanya orang kulit putih.

Sebagai seorang yang menjunjung persamaan hak dan anti-rasial sejati, Jorgensen menyalahkan egosentris orang barat dan supremasi kulit putih atas kekacauan yang dialami bangsa-bangsa Asia Afrika. Beliau tidak terpesona oleh jasa Eisenhower menyelamatkan Denmark dalam Perang Dunia II sebab baginya itu adalah usaha dengan pamrih karena jika tentara Amerika Serikat tidak datang ke Denmark maka Denmark dan mungkin seluruh wilayah Skandinavia akan bergabung dengan blok Soviet. Mengenai tragedi 1965 inipun secara tertulis beliau berkata, 

biarkanlah tuduhan itu terarah ke ras kulit putih saja”.

Pengalamannya di Indonesia pada tahun-tahun berdarah itu membuatnya melakukan riset independen tentang kejadian tersebut dan menemukan fakta bahwa “kebanyakan berkas di arsip Amerika sudah hilang atau tak bisa di akses”. Dan, saat novel ini sudah selesai beliau tetap kesulitan mendapatkan penerbit yang mau menerbitkan novelnya sebab bagi mereka kisah ini sudah tidak menarik lagi dan tragedi itu mungkin memang tidak pernah terjadi. Ini membuat Jorgensen kecewa dan menganggap dunia telah berpaling dari tragedi ini seolah tidak tahu apa-apa. Jorgensen sadar informasi tentang tragedi ini memang tidak banyak diketahui oleh dunia yang ironisnya justru orang Indonesia adalah orang-orang yang paling sedikit mengetahui informasi tentang tragedi ini.

Ketidak-jelasan orang Indonesia tentang apa yang terjadi pada masa itu bukannya membuat orang Indonesia mencari-tahu dan melakukan rekonsiliasi namun justru menolak untuk membahasnya atau bahkan memilih lupa, sehingga membuat Jorgensen kagum sekaligus miris dengan sikap rata-rata orang Indonesia yang dianggapnya sebagai “….sebuah masyarakat, kapan pun dalam sejarah umat manusia, yang benar-benar mengekspresikan arti memaafkan yang sebenarnya seperti yang dimaksudkan oleh kebudayaan atau agama apapun….”.

Jorgensen sangat mencintai Indonesia. Pengalamannya di Indonesia, terutama pada akhir 1965 begitu membekas dalam dirinya. Melalui tulisan penutup di akhir novel ini, saya-pun mengetahui bahwa tokoh Kasper adalah Jorgensen itu sendiri, yang mengalami semuanya persis seperti yang tertulis di novel ini, yang berteman dengan orang-orang Indonesia dan yang ditodong oleh senapan para serdadu. Pengalamannya selama di Indonesia membuatnya merasa senang dan bangga, tapi sekaligus sedih sebab dia “mengenal Indonesia dan orang-orangnya justru pada saat sulit bagi orang-orang untuk tersenyum”. Keprihatinannya lah yang membuat Jorgensen mengarang dan menerbitkan novel ini dengan harapan,

“…dapat membawa sebagian potongan masa lalu kepada orang Indonesia”.



INFORMASI BUKU

“The Forgotten Massacre” adalah sebuah novel semi-otobiografi karangan Peer Holm Jorgensen yang diterbitkan pertama kali di Denmark pada tahun 2006. Penerbit Indonesia menerbitkan novel ini pada tahun 2009 setelah berhasil menghubungi Jorgensen dan bekerja sama dengan pihak Big Apple Tuttle-Mori yang bermarkas di Labuan, Malaysia. Novel ini diterbitkan di Indonesia tanpa mengubah judul aslinya.

Buku ini memang belum masuk bestseller di negara manapun tetapi berhasil membuka mata sebagian orang perihal apa yang terjadi pada akhir tahun 1965 di Indonesia melalui kesaksian seorang Eropa yang melihat dan mengalaminya secara langsung sehingga menjadi kisah “yang masih langka” (Noorca M.Massardi, penulis dan pewarta).

Di Indonesia “The Forgotten Massacre” sudah diterbitkan untuk dijual bebas tapi masih sulit ditemukan di toko-toko buku ternama.

Judul Buku: The Forgotten Massacre
Bahasa: Indonesia
Bahasa Asli: Danish
Negara Asal: Denmark
Genre: Novel
Kategori: Semi-Otobiografi
Pengarang (Author): Peer Holm Jorgensen
Penerjemah: Inggrid Nimpoeno
Editor: Indradya SP
Desain: Windu Tampan
Penerbit: Penerbit Qanita, Bandung
Cetakan I: Februari 2009 (tahun cetakan buku yang dibaca penulis resensi)
Diterbitkan di: Indonesia
Ukuran: 12,5 cm x 20,5 cm
Jumlah Halaman: 452 halaman
Jenis Sampul: Soft Cover
ISBN: 978-979-3269-98-6


Informasi Kontak Penerbit
Penerbit Qanita (anggota IKAPI)
PT.Mizan Pustaka
Alamat: Jl.Cinambo No.135 (Cisaranten Wetan), Ujungberung, Bandung, Jawa Barat 40294
Website: www.mizan.com
Telepon: (022)7483430
Faks: (022)7834311

________________________________________________________________________________

Catatan: Semua kutipan dikutip dari “The Forgotten Massacre”

Copyrights Artikel: Deleigeven Media

Copyrights Sinopsis: Penerbit Qanita



PENYUSUN:

Penulis Resensi: Devan

Penulis Sinopsis: Editorial Penerbit Qanita

Informasi Penulis: Devan

Informasi Buku dan Penerbit: Devan

Penyunting: Deleigeven & Juliet



Artikel ini diterbitkan pertama kali oleh: Deleigeven Media

Rabu, 15 Agustus 2018

SENI NEGOSIASI




Setiap hari kita berhadapan dengan situasi di mana kita harus melakukan negosiasi. Karena itu, kepiawaian bernegosiasi merupakan prasyarat mutlak bagi kesuksesan kita di bidang apapun, dalam kehidupan berkeluarga, kemasyarakatan dan professional.

Negosiator ulung adalah orang yang menang dalam bernegosiasi dan meninggalkan lawannya dengan perasaan senang karena dia juga merasa menang. Dengan kepiawaian ini, hubungan pribadi dan hubungan bisnis menjadi menyenangkan dan langgeng. 

-------------------------------------------------------------------------------------------------


“Seni Negosiasi” adalah buku panduan dasar-dasar negosiasi. Buku ini tebal tetapi sama sekali tidak bertele-tele. Dawson membagikan ilmunya dengan sangat detail dan terstruktur. Semua yang kita perlukan dalam bernegosiasi, baik itu prinsip-prinsip dasar, gaya, taktik, dan berbagai manuver, semuanya dijabarkan dengan rinci dan tidak bertele-tele.

Gaya bahasa yang digunakan sangat mudah dimengerti. Selain membahas berbagai taktik, buku ini juga memberikan berbagai ilustrasi, baik dari pengalaman pribadi Dawson maupun pengalaman orang lain dan juga pengalaman dan pengamatannya tentang tokoh-tokoh terkenal yang pernah ditemuinya termasuk beberapa presiden Amerika Serikat seperti Carter, Clinton, dan Bush Sr.

Tidak seperti buku-buku pengembangan diri lainnya yang biasanya membuat saya merenung dan memikirkan kembali kata-kata yang saya baca, buku ini tidak membuat saya menyempatkan diri untuk merenung melainkan sibuk menggaris-bawahi kata per kata dan juga sibuk mencatat sebab buku ini merupakan panduan teknikal praktis bukan teoritis. Semua panduan tentang berbagai prinsip dan taktik negosiasi, metode-metode pengendalian situasi, analisa dan taktik, cara menghadapi taktik-taktik lawan, dan mengenali berbagai gaya negosiasi orang-orang dari berbagai negara dan budaya, juga yang tidak kalah pentingnya adalah mengenali dan mematahkan berbagai manuver yang tidak etis saat bernegosiasi.

Buku ini adalah tandem untuk buku-buku marketing, manajerial, ilmu diplomasi, dan juga sangat direkomendasikan bagi yang ingin mempelajari ilmu public relation. Pelajaran paling penting dari “Seni Negosiasi” adalah negosiasi bukan tentang menang mutlak tapi tercapainya tujuan kedua belah pihak yang lalu menciptakan hubungan jangka panjang.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



INFORMASI PENULIS

“Seni Negosiasi” ditulis oleh penulis berkebangsaan Amerika Serikat, Roger Dawson. Beliau adalah negosiator ulung dan salah-satu dari sangat sedikit grand master negosiasi dunia pada era sekarang ini. selain sebagai seorang negosiator professional, Dawson juga adalah seorang pembicara dan pelatih negosiasi dengan pengalaman lebih dari 50 tahun. Beliau telah melatih banyak eksekutif, manajer, dan marketer di seluruh Negara bagian Amerika, dan juga Kanada hingga Australia.

Profesi Dawson sebagai negosiator dan pembicara profesional membuatnya di anugerahi penghargaan tertinggi dari National Speakers Association. Beliau adalah satu dari sangat sedikit pembicara profesional yang mendapat dua penghargaan bergengsi tersebut.



INFORMASI BUKU

“Seni Negosiasi” adalah buku yang diterbitkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1999 dengan judul “Secret Of Power Negotiating”. Di Indonesia “Seni Negosiasi” sudah diterbitkan untuk dijual bebas sejak tahun 2002 dan menjadi salah-satu buku laris dikalangan professional sehingga telah diterbitkan ulang selama tiga tahun berturut-turut. Kini, buku ini telah diterbitkan ulang sebanyak lima kali di Indonesia.


Judul Buku: Seni Negosiasi
Judul Asli: Secret Of Power Negotiating
Negara Asal: Amerika Serikat
Bahasa: Indonesia
Bahasa Asli: Inggris
Kategori Buku: Pengembangan Diri
Pengarang (Author): Roger Dawson
Penerjemah: C. Louis Novianto
Editor: Yahya Kristiyanto
Desain Sampul: Agustinus Purwanta
Penerbit: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Diterbitkan di: Indonesia
Cetakan I : 2002
Cetakan II : Mei 2003
Cetakan III: Agustus 2004
Cetakan IV: Juli 2010
Cetakan V : Januari 2012 (tahun cetakan yang dibaca penulis resensi)
Ukuran: 13 cm x 20 cm
Jumlah Halaman: 468 halaman
Jenis Sampul: Hard Cover
ISBN: 978-979-22-6024-3


Informasi Kontak Penerbit
PT. Gramedia Pustaka Utama (anggota IKAPI)
Kompas Gramedia Building
Blok I Lantai 5
Alamat: Jl.Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
________________________________________________________________________________

Copyrights Article: Deleigeven Media
Copyrights Synopsis: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama


PENYUSUN:
Penulis Resensi: Devy R
Sinopsis: Editorial Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama
Informasi Penulis oleh: Devy R
Informasi Buku dan Penerbit oleh: Devy R
Penyunting: Deleigeven & Juliet
Artikel ini diterbitkan pertama kali oleh: Deleigeven Media


SUMBER:
en.wikipedia.com/roger_dawson

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Minggu, 05 Agustus 2018

MATA RANTAI ALEXANDRIA




Cotton Malone mengundurkan diri dari dunia penuh risiko agen lapangan elit Departemen Luar Negeri Amerika dan membuka toko buku-buku langka. Namun kehidupannya yang tenang terguncang ketika ia menerima email tanpa nama identitas pengirim yang mengancam akan membunuh putranya. Mantan istrinya yang ketakutan memberitahu bahwa ancaman itu nyata: Putranya yang beranjak remaja diculik. Ketika toko buku Malone di Kopenhagen dibakar hingga rata dengan tanah, jelas bahwa mereka yang bertanggung-jawab terhadap kejadian itu tidak akan berhenti hingga mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan:

Perpustakaan Alexandria yang hilang.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Novel ini memiliki alur yang sangat cepat, berbeda dengan novel-novel karya Dan Brown yang memiliki genre yang sama tapi memiliki kecepatan alur yang lebih lambat. Anda didesak untuk segera mengerti mengapa tokoh utama yang hanya pemilik sebuah toko buku di Kopenhagen bisa memiliki begitu banyak koneksi pada orang-orang penting di Washington, juga kenapa seorang konglomerat Denmark bisa menjadi pelindungnya. Lalu, tiba-tiba Jaksa Agung Amerika Serikat pun dilibatkan, hingga kemudian anda mulai terbiasa dengan kemunculan presiden Amerika Serikat dan jajaran penting lainnya di Negara itu. Tidak hanya cepat, banyak juga kisah-kisah khas film-film aksi Hollywood yang melibatkan pistol, granat, dan bahkan RPG. Khas penulis-penulis novel petualangan Amerika. Untuk yang satu itu, ketegangan yang Steve Berry tawarkan melebihi Dan Brown. Sayangnya, Steve Berry kurang bisa memverbalkan setiap aksi ‘perang terbuka’ itu tanpa mengurangi kualitas keindahan sejarah yang menjadi latar belakang cerita. Tapi, ditengah-tengah petualangan Cotton Malone yang cepat terselip cerita-cerita sejarah masa lalu, ketika perang Arab-Israel pertama kali berkecamuk pada tahun 1948, yang muncul ibaratnya slow motion pada film sehingga membuat novel ini masih memiliki sedikit keindahan literasi, sesuatu yang saya pikir tidak akan pernah saya temukan saat saya mendeteksi keberadaan peluncur roket ditengah-tengah kota Kopenhagen dalam novel ini.

Otak saya tidak perlu banyak berpikir saat membaca novel ini meskipun novel ini adalah novel fantasi sejarah. Tidak ada kode-kode rumit khas Dan Brown di novel ini sehingga pasti akan mengecewakan anda yang menggemari teka-teki. Saya cukup heran karena tidak menemukan kode-kode rumit dalam novel ini padahal tujuan dalam cerita ini adalah menemukan Perpustakaan Alexandria, yang kita tahu seharusnya sudah musnah sehingga tentunya jika masih ada, seperti menurut novel, maka pasti disembunyikan dengan teramat rahasia sehingga para penjaganya hanya akan berkomunikasi dengan cara yang rumit yang menggunakan kode-kode rahasia. Tapi, alur yang baik membuat hal itu tidak mengecewakan saya. Namun, ada satu hal yang menjadi kekecewaan saya yaitu bentuk-bentuk verbal dari novel ini tentang fisik Perpustakaan Alexandria. Meskipun Steve Berry menggambarkan dengan detail fisik dari para tokoh dengan detail tapi saya kecewa karena saya tidak mendapat detail fisik dari perpustakaan itu secara literal dalam novel ini meskipun denah perpustakaan ada dalam salah-satu lembar buku ini. Maksud saya, tolong verbalkan keadaan dan keindahan perpustakaan dengan detail, berapa tinggi langit-langit ruangan dan rak-rak bukunya, sebesar apa bilik-biliknya, sepanjang apa anak-anak tangga dan yang paling utama adalah buku-buku penting apa saja yang ada disana? Bukankah menemukan perpustakaan ini adalah tujuan utama tokoh utama? Semua penjelasan tentang fisik perpustakaan itu sangat menggantung bagi saya padahal saya ingin tahu imajinasi hebat yang ditawarkan oleh penulis novel ini mengenai Perpustakaan Alexandria kuno yang seharusnya sudah musnah ribuan tahun lalu. Rasa penasaran saya juga tidak terpuaskan mengenai pertanyaan: Mengapa dan bagaimana perpustakaan termegah sepanjang masa itu bisa runtuh? Tidak ada kilas balik tentang hal itu.

Walau detail sejarah dan penelusuran kode-kode kuno kurang menggigit seperti karya-karya Dan Brown tetapi dengan mengagumkan Steve Berry mampu bermain apik dalam memanfaatkan celah-celah sejarah, dengan memanfaatkan kejadian yang benar-benar terjadi dalam sejarah dan dua sisi kemungkinan yang tidak tercatat dalam sejarah lalu kemudian menghubungkannya dengan apa yang terjadi pada masa sekarang ini. Satu hal yang luput dimaksimalkan dalam novel kontroversial “Da Vinci Code”. Saya sangat menyukai plot cerita yang disajikan Steve Berry termasuk karakteristik tokoh-tokohnya dan semua unsur kejutan dalam novel ini. Steve Berry juga menghindari dengan tegas kisah semacam temporary love khas Hollywood yang murahan yang kerap kita temukan pada bagian akhir dari karya-karya Dan Brown. Walau demikian, Steve Berry memang masih belum bisa menceritakan semuanya itu seindah Dan Brown. Tapi setidaknya, novel ini masih menjadi novel yang paling pas bagi saya jika ingin membaca sebuah cerita fiksi demi memperkaya imajinasi yang muncul dari pertanyaan klasik: Seperti apa Perpustakaan Alexandria?

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



INFORMASI PENULIS

“Mata Rantai Alexandria” ditulis oleh penulis berkebangsaan Amerika Serikat, Steve Berry. Beliau lahir pada tahun 1955.

Berry bekerja sebagai seorang pengacara selama 30 tahun sebelum beliau mulai menulis novel. Sebagai seorang pengacara Berry aktif bekerja di firma hukumnya sendiri selama 14 tahun, sedangkan peran Berry sebagai seorang penulis, selain menulis buku, adalah sebagai salah satu pendiri International Thriller Writters, yaitu organisasi penulis cerita thriller yang menaungi 4.200 penulis novel thriller.

Sebelum sukses dengan novel keduanya, “The Templar Legacy”, Steve Berry menjadi salah-satu penulis yang karyanya paling sering ditolak oleh penerbit. Karya pertamanya “The Amber Room” yang ditulis selama 12 tahun ditolak sebanyak 85 kali oleh berbagai penerbit sebelum akhirnya naskah “The Amber Room” dibeli oleh penerbit Ballantine Books. Pada akhirnya, Steve Berry mendapatkan pengakuan dari harian-harian ternama seperti The New York Times, USA Today, Publishers Weekly, dan juga situs buku BookSense sebagai salah satu penulis terlaris di Amerika. Karya-karyanya telah diterjemahkan kedalam 40 bahasa dan diterbitkan di 51 negara.



INFORMASI BUKU

“Mata Rantai Alexandria” adalah sebuah novel fiksi sejarah yang diterbitkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 2007. Novel ini diterbitkan pada 30 Januari 2006 di Amerika, dan merupakan buku ketiga yang ditulis Berry. “Mata Rantai Alexandria” merupakan bagian dari requiem kedua Cotton Malone. Novel ini tidak berhasil mengikuti kesuksesan requiem yang pertama, “The Templar Legacy” yang menjadi bestseller. Meskipun begitu, requiem Cottone Malone terus berlanjut hingga seri ke-13 yang terbit di Amerika pada 2018.

Walaupun buku ini banyak menyentuh sisi-sisi sensitif agama Kristen, Yahudi, dan Islam, dan juga menyebut pemerintah Negara Israel namun tidak menimbulkan kontroversi, meskipun buku ini membuat Steve Berry dikritik sebagai seorang anti-Semit dan anti-Yahudi.

Di Indonesia “Mata Rantai Alexandria” sudah diterbitkan untuk dijual bebas.


Judul Buku: Mata Rantai Alexandria
Judul Asli: The Alexandria Link
Negara Asal: Amerika Serikat
Bahasa: Bahasa Indonesia
Bahasa Asli: Inggris
Genre: Novel
Kategori: Fiksi Sejarah dan Petualangan
Pengarang (Author): Steve Berry
Penerjemah: Chandra Novwidya Noviana
Editor: Widi Lugina
Desain: Eduard Iwang Mangopang
Penerbit: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Februari 2011 (tahun cetakan yang dibaca penulis resensi)
Diterbitkan di: Indonesia
Ukuran: 13 cm x 20 cm
Jumlah Halaman: 632 halaman
Jenis Sampul: Soft Cover
ISBN: 978-979-22-7816-3


Informasi Kontak Penerbit:
PT. Gramedia Pustaka Utama (anggota IKAPI)
Alamat: Jl.Palmerah Barat 29-37 Blok 1 lantai 5, Jakarta 10270

________________________________________________________________________________

Copyrights Article: Deleigeven Media
Copyrights Synopsis: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama


PENYUSUN:
Penulis Resensi: Deleigeven
Sinopsis: Editorial Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama
Informasi Penulis: Deleigeven
Informasi Buku dan Penerbit: Deleigeven
Penyunting: Juliet
Artikel ini diterbitkan pertama kali oleh: Deleigeven Media


SUMBER:
en.wikipedia.com/steve_berry

-------------------------------------------------------------------------------------------------------



Minggu, 15 Juli 2018

A CELESTIAL BEING




Sepanjang sejarah wanita selalu mendapat tekanan dan sering diabaikan hak-haknya. Sejarah juga mencatat perlakuan-perlakuan tidak adil dan bahkan kekejaman-kekejaman pada wanita yang tidak terhitung banyaknya. Lalu, adakah kehadiran agama justru memperpanjang daftar gelap itu ataukah justru menjadi garda terdepan yang melindungi wanita?

-------------------------------------------------------------------------------------------------


“A Celestial Being” adalah buku tentang status dan hakekat wanita dalam sudut pandang Islam khususnya dari sudut pandang ulama-ulama Islam di Iran. Walaupun tipis tetapi buku ini membahas lengkap perihal wanita dalam sudut pandang Islam, yang dimulai dari pembahasan tentang HAM khusus poin tentang wanita dan kemudian dengan detail membahas dan menjelaskan tentang ajaran Islam tentang status wanita, tidak lupa juga membahas tentang peran muslimah-muslimah tangguh dalam sejarah Islam.

Ada satu perikop judul dalam buku ini yang menarik perhatian saya, “Men and Women Equal in Humanity”. Kalimat ini sangat jarang saya lihat dalam buku-buku agama di Indonesia, yang katanya adalah negara moderat, tetapi justru saya temukan dalam buku terbitan negara Islam konservatif seperti Iran. Hosseini sangat cerdas menjelaskan tentang persamaan hak antara pria dan wanita dalam ajaran Islam yang masing-masing tentunya memiliki perbedaan, seperti kekuatan fisik dan karakteristik psikologis, sehingga menurut beliau harus mendapat perlakuan yang proporsional tanpa menimbulkan ketimpangan dalam persamaan hak.

Hosseini memang hampir tidak memberikan ilustrasi dalam buku ini yang membantu menjelaskan tulisannya tetapi detail yang beliau berikan sudah sangat membantu. Terlepas dari semua kekurangan, baik dari segi sejarah dan riset pada tafsiran Yudaisme dan Kristen, juga konten-konten yang berlebihan, buku ini sangat bagus untuk memperkaya pengetahuan dan menjawab pertanyaan mengenai hak, kewajiban, status, dan peran wanita menurut Islam.

Meskipun konten buku ini adalah ajaran Islam tetapi Hosseini tidak menyerang agama lain padahal menyudutkan ajaran lain sudah menjadi kebiasaan yang hampir identik dengan buku-buku rohani berbagai agama. Hosseini memang dengan gamblang menentang Zionisme tetapi beliau tidak mengganggu Yudaisme. Namun, Hosseini luput memperhatikan, atau mungkin abai, pada beberapa fakta sejarah dan juga kurang melakukan riset pada doktrin Yudaisme dan Kristen saat melakukan perbandingan pandangan tentang status wanita, khususnya pada masa-masa pra-Islam, yang diklaim oleh Hosseini sebagai era gelap bagi wanita. Cukup banyak fakta sejarah yang menunjukkan bahwa masa pra-Islam, diwilayah Arab atau diluar Arab, tidak secara merata identik dengan masa kegelapan bagi wanita, terkhususnya di Iran.

Kisah Ratu Ester akan sangat familiar jika kita ingin mencari tulisan dalam ajaran Yudaisme dan Kristen tentang peran wanita dalam pemerintahan. Sebagai seorang Iran, Hosseini seharusnya tahu kisah ini sebab suami Ratu Ester, Raja Xerxes, adalah maharaja Persia yang sangat terkenal. Selain Ester ada Deborah, seorang nabiah dan panglima perang yang memimpin bangsa Israel mengalahkan tentara Kanaan. Kedua wanita ini hanyalah bagian dari kisah-kisah panjang tentang wanita-wanita pemimpin dalam kitab-kitab Yudaisme dan Kristen. Meskipun pada masa lalu peran wanita Kristen memang diabaikan akibat berbagai pandangan yang kaku, tetapi berbagai tafsiran dari ajaran Kristen menjunjung kesetaraan hak pria dan wanita, yang diyakini oleh kalangan Kristen telah diawali sejak masa penciptaan Adam dan Hawa. Hosseini memang membahas mengenai penciptaan Adam dan Hawa menurut ajaran Kristen tetapi hanya secara literal tanpa mengikutkan penafsirannya dan malah mengambil kesimpulan yang keliru. Terlebih lagi, Hosseini menyebutkan bahwa dalam ajaran Kristen: Hawa hanya diambil dari tubuh Adam, sedangkan Adam diciptakan dari nafas Tuhan. Sehingga Adam lebih diistimewakan karena diciptakan dari unsur yang kekal sedangkan Hawa dari unsur yang fana. Padahal, menurut Kitab Kejadian Adam juga “diciptakan dari debu fana yang dihembuskan nafas oleh Tuhan”. Unsur “debu” dalam penciptaan Adam tidak akan pernah dihilangkan oleh orang Kristen. Ajaran Kristen tidak menganut pengistimewaan Adam. Menurut ajaran Kristen, Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam karena Hawa memang tidak boleh diciptakan dengan cara yang sama dengan Adam sebab artinya tubuh Hawa terpisah dari Adam padahal doktrin Kristen mengajarkan bahwa pria dan wanita yang sudah menikah adalah ‘satu tubuh’ (= suami-istri harus bersatu). Tubuh Adam yang diambil Tuhan juga bukan dari kepala, agar wanita tidak mendominasi pria, atau juga dari kaki, agar wanita tidak diinjak-injak pria, melainkan dari tulang rusuk yang posisinya berada di tengah, yang artinya wanita setara dengan pria. Tafsiran ini sudah diketahui dengan luas dikalangan gereja era modern dan sangat popular dikalangan feminis Kristen sehingga seharusnya Hosseini tidak mengabaikan hal ini jika ingin mengambil kisah Adam sebagai pembanding.

Selain kesalahan penafsiran ajaran lain, Hosseini juga mengabaikan fakta-fakta sejarah mengenai peran-peran wanita di berbagai bangsa pra-Islam. Mesir memiliki ratu-ratu tangguh seperti Hathsepsut, Nefertiti, dan Kleopatra. Tidak mungkin Hosseini tidak pernah mendengar tentang mereka. Jika Hosseini juga mau membuka buku-buku sejarah Asia Timur maka beliau akan menemukan lebih banyak lagi tokoh-tokoh wanita yang berpengaruh yang berasal dari budaya yang menghormati status sosial wanita. Tiongkok memiliki Maharani Wu Zetian, Jepang yang membanggakan Maharani Himiko, Indonesia juga memiliki Ratu Sima, Dya Pitaloka, dan Ratu Gayatri. Bahkan, Korea kuno pada masa Tiga Kerajaan, khususnya kerajaan Silla, justru menjunjung persamaan hak pria dan wanita baik dalam pergaulan sosial dan juga hak-hak politik. Di kerajaan kuno ini, dalam hal politik, hukum, dan sosial, apa yang pria lakukan pasti bisa dilakukan oleh wanita, entah itu terlibat dalam militer, pemerintahan, bahkan duduk diatas tahta. Semua itu adalah fakta-fakta sejarah yang menunjukan bahwa era pra-Islam diberbagai belahan dunia tidak gelap secara merata bagi wanita.

Hosseini terlalu mengacu pada status sosial wanita di masa Yunani dan Romawi kuno yang memang diperlakukan lebih rendah dari pria, yang tragisnya justru bertahan sangat lama dan menjalar ke seluruh Eropa dan juga dibawa ke koloni-koloni bangsa-bangsa Eropa diseluruh dunia.

Selain minim fakta sejarah sebagai pembanding, ada satu lagi konten dalam buku ini membuat buku ini malah nyaris terlihat seperti buku biografi sebab terlalu banyak membahas tentang profil Ayatollah Khomeini. Memang, Hosseini bermaksud untuk menunjukan bahwa sosok Khomeini adalah tokoh di era modern yang paling menjunjung tinggi status wanita sesuai ajaran Islam, tetapi seharusnya Hosseini membahas tentang aktifitas sosial Khomeini yang berhubungan dengan peran wanita dalam Islam saja ketimbang fokus pada aktifitas politiknya. Kutipan-kutipan kalimat dari pemimpin tertinggi Iran yang sekarang, Imam Khamenei, dalam menyerang Zionisme dan Amerika malah membuat buku ini hampir mirip buku-buku propaganda politik.

Untunglah, Hosseini membahas dengan cukup detail mengenai status dan hak-hak wanita menurut Islam sehingga sebagian besar konten buku ini sesuai dengan judul buku. Hosseini juga dengan tegas menuding budaya barat sebagai salah-satu peradaban yang paling mendiskreditkan wanita, suatu tuduhan yang memang bisa dibuktikan. Juga, menurut beliau feminisme yang kebablasan justru menurunkan martabat wanita, satu pendapat yang sangat saya setujui.

Gerakan feminisme modern adalah lompatan brilian bagi peran dan status wanita di era modern, tetapi, ada aktifitas-aktifitas beberapa feminis yang sangat agresif yang justru malah mendiskreditkan peran dan hak wanita. Sebagai contoh, kita harus menghormati wanita-wanita yang tidak mau berhijab, walaupun mereka adalah minoritas, tetapi itu tidak berarti kita dibenarkan untuk menolak para wanita berhijab, saat mereka menjadi mayoritas. Kalau feminisme menuntut kesetaraan hak pria dan wanita artinya wanita yang berhijab dan tidak berhijab juga memiliki hak yang setara. Jadi, apakah salah jika ada dua orang olahragawati di kompetisi olah-raga internasional, yang satu nyaman berbikini dan yang seorang lagi bangga berhijab? Tentu tidak, sebab mereka memiliki hak yang sama dan bebas menyatakan apa pilihan mereka. Poin inilah yang selalu diabaikan oleh para feminis barat, sebab bagi mereka: Hijab adalah pengekangan. Mungkin hal itu tepat bagi wanita-wanita yang dipaksa berhijab, tetapi pendapat itu sangat tidak tepat ditujukan bagi para wanita yang bangga berhijab, sebab, sesuai dengan pendapat Hosseini: Keadilan itu proporsional.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------


INFORMASI BUKU

“A Celestial Being” adalah sebuah buku agama dan sosial yang membahas tentang peran wanita menurut ajaran Islam. Buku ini belum diterbitkan dan dijual secara bebas di Indonesia. Karena penerbitan buku ini bekerja-sama pihak Islamic Culture & Relation Organization (General Office for Women and Family Affairs), sebuah organisasi kebudayaan Iran, maka mungkin anda bisa mendapatkan informasi tentang buku ini melalui Pusat Kebudayaan Iran dengan mengunjungi Kedutaan Besar Republik Islam Iran.

Judul : A Celestial Being: An Introductory to the Status of Women in the Islamic Republic of Iran
Negara Asal : Republik Islam Iran
Bahasa: Inggris
Bahasa Asli: Persia
Kategori: Agama dan Sosial
Pengarang: Sayyed Ebrahim Hosseini
Penerjemah: Massoumeh Mohammadi dan Ayyoub Dehghankar
Penerbit: Alhoda International Publishing Group
Cetakan Pertama: 2015 (tahun cetakan buku yang dibaca penulis resensi)
Diterbitkan di: Teheran, Iran
Ukuran: 14 cm x 21 cm
Jumlah Halaman: 200 halaman
Jenis Sampul: Soft Cover
ISBN: 978-964-439-674-8


Informasi Kontak Penerbit
Alhoda International Publishing Group
Alamat: Teheran, Islamic Republic of Iran, P.O BOX 14155-4363
Telepon: (+98)21-22211211, (+98)21-22206714

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Copyrights Article: Deleigeven Media
Copyrights Synopsis: Devy R


PENYUSUN:
Penulis Resensi: Devy R
Sinopsis: Devy R
Informasi Penulis oleh: Deleigeven
Informasi Buku dan Penerbit oleh: Devy R
Penyunting: Deleigeven & Juliet
Artikel ini diterbitkan pertama kali oleh: Deleigeven Media



Kamis, 05 Juli 2018

QUO VADIS?




NERO: maharaja yang kejam, haus darah, sinting, dan sangat berkuasa. Semua tunduk dibawah kakinya.

VINICIUS: sebagai perwira militer, dia tidak bisa menyelamatkan kekasihnya dari kebuasan sang Maharaja. Hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan jiwa Lygia.

RASUL PETRUS: dia hanya seorang tua renta yang sudah bungkuk, dengan senjata sebatang tongkat. Umat Kristen pengikutnya sudah habis dibantai oleh Caesar yang kejam. Mungkinkah dia bisa menumbangkan kekuasaan dunia dan merebut kota Roma yang penuh kemaksiatan untuk dijadikan kota milik Tuhan?

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Novel ini adalah salah-satu novel sejarah yang terindah yang pernah saya baca. Satu kata bisa menggambarkan novel ini: Sempurna.

Mulai dari lembar pertama novel ini saya seperti terlempar ke masa lalu ketika Kekaisaran Romawi masih kokoh menguasai Eropa Barat. Keindahan kota Roma, kehidupan kalangan elit Roma pada masa itu juga bagaimana kehidupan budak-budak saat itu, dan juga berbagai konflik ditengah-tengah orang-orang Roma, baik antar warga negara Roma dan juga antar orang asing yang tinggal di Roma, semuanya nyata dalam imajinasi saya berkat tiap kata dalam novel ini.

Mengenai gambaran sosial orang-orang Roma, “Quo Vadis” memberikan detail yang nyaris sempurna untuk melengkapi imajinasi saya tentang kehidupan orang-orang Roma, terutama pergolakan sosial di Roma dan intrik-intrik politik para elit dan bangsawan Roma. Sienkeiwicz dengan sangat brilian mampu membawa Rasul Petrus, Rasul Paulus, dan Kaisar Nero secara bersama-sama dalam satu cerita. Sienkeiwicz juga seakan ingin mengajak kita agar bisa seperti Petronius, seorang bangsawan pecinta keindahan duniawi yang tidak pernah mengerti, juga tidak mau menerima, ajaran agama lain selain dewa Roma yang dia percaya tetapi dia memilih menghormati ajaran agama lain, yang dia anggap aneh itu, dengan menolong orang lain tanpa perlu berdebat tentang keyakinannya sebab setiap orang relijius yang benar-benar taat pasti menghormati kemanusiaan dan mampu dalam kesulitan yang terburuk dalam hidup.

Kejamnya perlakuan pada musuh-musuh politik kaisar diverbalkan tanpa mengurangi keindahan literal kota Roma kuno. Ditengah-tengah semua keindahan verbal Sienkeiwicz juga bercerita dengan jenaka tentang Nero yang terlihat konyol tapi tidak benar-benar bodoh sebab dia seorang pembunuh kejam yang memang sosiopat. 

Memang, banyak informasi yang bisa ditemukan dalam berbagai literasi kuno tentang Nero dan perilakunya tetapi tidak banyak detail informasi dalam sejarah selain dalam Alkitab tentang kehidupan dan keseharian Petrus dan Paulus yang bisa melengkapi imajinasi saya saat membayangkan seperti apa kehidupan dan situasi yang dihadapi kedua tokoh besar ini yang saat itu digolongkan sebagai musuh-musuh kaisar. Tetapi, Sienkeiwicz seakan menawarkan kepingan-kepingan cerita kedua tokoh tersebut yang melengkapi imajinasi yang saya inginkan. Imajinasi yang nyaris lengkap melalui keindahan literasi yang ditawarkan oleh Sienkeiwicz ini membuat saya ingin berada di kota Roma kuno sepanjang saya membaca novel ini sehingga andaikan ada yang bertanya saat saya, saat saya masih tenggelam dalam novel ini: “Quo Vadis?”, maka saya akan menjawab: “Ad Roma!”

-------------------------------------------------------------------------------------------------



INFORMASI PENULIS

“Quo Vadis” ditulis oleh penulis berkebangsaan Polandia peraih Nobel di bidang sastra, Henryk Sienkeiwicz. Beliau lahir pada 5 Mei 1846 di Polandia dan meninggal pada 15 November 1916 di Swiss.

Sienkeiwicz adalah penulis Polandia yang paling terkenal pada masanya dan hingga saat ini. Pada masanya juga beliau adalah salah satu penulis paling terkenal di Lithuania, Prancis, Kekaisaran Prusia (Jerman), dan bahkan Rusia yang saat itu bermusuhan dengan Polandia. Sampai saat ini, tidak ada penulis Polandia yang mendapatkan ketenaran dan penghormatan yang mengungguli atau bahkan setara dengan Henryk Sienkeiwicz. Bahkan, saat Sienkeiwicz meninggal, pemakamannya dihadiri oleh presiden Polandia dan mendapatka penghormatan khusus dari Paus.



INFORMASI BUKU

“Quo Vadis” adalah sebuah novel sejarah karangan penulis Polandia, Henryk Sienkeiwicz, yang diterbitkan pertama kali di Polandia pada tahun 2007. Novel ini diterbitkan pada 30 Januari 1895 di Amerika. Buku ini merupakan salah-satu buku paling laris di Eropa pada masanya, dan kemudian juga menjadi bestseller di Amerika Utara. Novel ini menjadi salah-satu indikator Henryk Sienkeiwicz meraih nobel dibidang sastra. Saking piawainya Sienkeiwicz bercerita dalam “Quo Vadis”, banyak orang yang menganggap novel ini adalah kisah sejarah nyata. Kisah pembakaran kota Roma oleh Nero yang lalu menuduh orang-orang Kristen sebagai pelakunya kini sudah menjadi kisah yang diketahui secara luas diseluruh dunia, padahal tidak ada bukti tertulis dimasa yang sama dan masa-masa yang dekat dengan kejadian itu yang menyebutkan bahwa Nero yang memerintahkan pembakaran tersebut. Memang sudah lama desas-desus itu terdengar tapi pendapat itu tidak populer, novel “Quo Vadis” lah yang mempopulerkan pendapat tersebut keseluruh dunia sehingga sampai sekarang kisah yang belum dapat dibuktikan itu terlanjur dianggap sebagai kisah sejarah yang benar-benar terjadi.

Walaupun menyentuh banyak sisi agama Kristen tetapi novel ini tidak menimbulkan kontroversi apapun dan tidak mendapat kritikan negatif dari sejarawan. Di Indonesia “Quo Vadis” sudah diterbitkan dan dijual bebas.


Judul Buku: Quo Vadis?
Judul Asli: Quo vadis. Powieść z czasów Nerona
Bahasa: Indonesia
Bahasa Asli: Polish
Pengarang (Author): Henryk Sienkeiwicz
Negara Asal: Polandia
Genre: Novel
Kategori: Fiksi Sejarah
Penerjemah: Antonius Adiwiyoto
Desain: Satya Utama Jadi
Penerbit: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan ke-1 : 1981
Cetakan ke-2: November 2009 (tahun cetakan yang dibaca penulis resensi)
Diterbitkan di: Indonesia
Ukuran: 13 cm x 20 cm
Jumlah Halaman: 552 halaman
Jenis Sampul: Soft Cover
ISBN: 978-979-22-5142-5


Informasi Kontak Penerbit:
PT. Gramedia Pustaka Utama (anggota IKAPI)
Alamat: Jl.Palmerah Barat 29-37 Blok 1 lantai 5, Jakarta 10270

________________________________________________________________________________

Copyrights Article: Deleigeven Media
Copyrights Synopsis: Editorial Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama


PENYUSUN:
Penulis Resensi: Devan
Informasi Penulis oleh: Deleigeven
Informasi Buku dan Penerbit oleh: Devan
Penyunting: Deleigeven & Juliet
Artikel ini diterbitkan pertama kali oleh: Deleigeven Media


SUMBER:
en.wikipedia.com/henryk_sienkeiwicz

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Jumat, 15 Juni 2018

SEJARAH BATU BARA DARI MASA KE MASA




Negeri Batu Bara sudah ada setelah masa kebudayaan bercorak Hindu-Buddha berakhir di Sumatera. Berdirinya negeri Batu Bara bermula dari perburuan yang gagal dari seorang pangeran Minangkabau yang membawanya ke negeri Simalungun. Pangeran lalu menikahi putri raja Simalungun dan pindah ke wilayah pesisir yang memiliki banyak batu yang membara sehingga wilayah ini di sebut Batu Bara.

Negeri Batu Bara menjadi negeri yang sangat makmur sehingga menjadi incaran berbagai bangsa termasuk bangsa-bangsa Eropa. Sejarah melukiskan pasang-surut yang dialami negeri ini, mulai dari perang saudara masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, dan Revolusi Sosial di Sumatera Timur.

-------------------------------------------------------------------------------------------------



Buku ini memberikan data-data yang sangat berharga tentang sejarah klasik wilayah Batu Bara yang sangat sulit anda temui dalam buku-buku lain sebab banyak buku yang memuat sejarah Kesultanan Siak Sri Indrapura atau sejarah klasik kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur dan Utara yang berhubungan dengan Kedatuan-kedatuan di Batu Bara tapi tidak ada yang memuat sejarah wilayah Batu Bara sedetail buku ini. Melalui buku ini, anda akan memperoleh informasi berharga tentang sejarah Batu Bara sejak masa pemukiman yang pertama di wilayah ini hingga pemerintahan para penguasa di wilayah ini di masa-masa setelah dan bagaimana kedatuan-kedatuan ini runtuh, lengkap dengan tabel silsilah para penguasa kedatuan-kedatuan di Batu Bara. Tidak hanya kisah-kisah sejarah, buku ini juga memuat beberapa legenda dari wilayah Batu Bara ini.

Saya mendapatkan buku ini dalam sebuah pameran perpustakaan ketika saya mengunjungi stan milik "Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kabupaten Batu Bara". Bangga sekali saya mendapatkan buku ini karena saya tahu buku ini tidak dijual sehingga sangat berharga bagi pecinta sejarah seperti saya. Tetapi, saya kemudian kecewa dengan isi buku ini. Kekurangan besar dari buku ini terletak pada alur dan susunan cerita yang tumpang-tindih, dan yang terutama adalah narasi. Sayang memang, data yang sudah dihimpun dengan susah-payah ini terganggu oleh narasi yang tidak teratur apalagi indah. Narasi yang tumpang-tindih ini justru membuat bingung saat saya menelusuri data-data yang disajikan oleh buku ini. Terlebih lagi, tidak ada pemisahan perikop saat membahas penguasa yang berbeda dari satu kedatuan. Semuanya digabungkan, dan kemudian diulang lagi di paragraf dan bab yang lain.

Perihal narasi buku ini, sangat sulit saya mengerti mengapa ada banyak sekali kecacatan yang berupa kesalahan penulisan dan pengulangan kata serta pengulangan penjelasan sebab saat saya menghitung jumlah editor umum buku ini ada enam orang, yang mana salah-satunya adalah seorang dosen Fakultas Sastra di salah-satu universitas negeri di provinsi Sumatera Utara.

Kekurangan kedua dari buku ini, yang tidak kalah besarnya dengan kecacatan dalam narasi, adalah tidak ada catatan kaki. Kita hanya tahu sang pangeran bernama Datuk Belambangan putra dari Raja Bujang dan cucu dari Raja Gamuyang, tapi tidak dijelaskan siapakah Raja Bujang dan Raja Gamuyang ini. Kita juga hanya diberi-tahu bahwa istri Datuk Belambangan bermarga Damanik dan beliau sendiri diberikan marga Sinaga, tetapi tidak dijelaskan perihal siapa nama ayah dari sang putri dan mengapa sang pangeran bisa diberikan marga Sinaga. Jika memang tidak tahu atau catatan sejarah tentang tokoh-tokoh itu tidak ada, juga tidak adanya referensi lain berupa opini dari para budayawan dan sejarawan maka minimal berilah ‘kode’ berupa catatan singkat: “data tentang beliau/tokoh ini sangat minim/belum ditemukan”

Sangat disayangkan karena kita tidak bisa menikmati kisah-kisah sejarah dan kepahlawanan para tokoh sejarah akibat narasi yang terus berulang dan membosankan. Anehnya, begitu meski sering sekali mengulangi penjelasan-penjelasan yang persisi sama tetapi justru abai membahas latar-belakang tokoh-tokoh sejarah yang mungkin hanya merupakan tokoh kecil namun keberadaannya justru sangat penting jika kita ingin merunut kembali sejarah wilayah ini.

-------------------------------------------------------------------------------------------------



INFORMASI BUKU

Buku “Sejarah Batu Bara Dari Masa Ke Masa” diterbitkan pada 2010 ketika Kabupaten Batu Bara baru 3 tahun berdiri menjadi kabupaten mandiri setelah dimekarkan dari Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, pada 2007.

Buku ini diterbitkan tidak untuk dijual sebab peruntukannya adalah sebagai dokumentasi sejarah Kabupaten Batu Bara. Buku ini diberikan gratis pada masyarakat yang ingin mengetahui perihal sejarah klasik Kabupaten Batu Bara.


Judul: Sejarah Batu Bara Dari Masa Ke Masa
Bahasa: Bahasa Indonesia
Genre: Dokumentasi
Kategori Buku: Sejarah
Negara Asal: Indonesia
Penulis (Writer): Muhammad Yusuf Morna
Tim Penyusun: Anwardi, Muhammad Yusuf Morna, Nasrul, Azmi Saini Batubara, Sindi Amalia Aryetta
Editor: Isma Tantawi, Syofyan Alwi, Datuk Azmansyah, H.Mukhtar Tanjung, Basyaruddin, Lukman Hakim
Penerbit: Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kabupaten Batu Bara
Diterbitkan di: Indonesia
Cetakan I: 2010 (tahun cetakan buku yang dibaca penulis resensi)
Ukuran dan Ketebalan: 17cm x 22,5cm, 253 Halaman
Jenis Sampul: Hard Cover
ISBN: 978-602-97395-0-3

_______________________________________________________________________________

Copyrights Artikel: Deleigeven Media
Copyrights Sinopsis: Deleigeven


PENYUSUN:
Penulis Resensi: Deleigeven
Penulis Sinopsis: Deleigeven
Informasi Penulis: Deleigeven
Informasi Buku: Deleigeven
Informasi Penerbit: Deleigeven
Penyunting: Juliet
Artikel ini diterbitkan pertama kali oleh: Deleigeven Media


SUMBER:
-id.wikipedia.com/kabupaten_asahan


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Selasa, 05 Juni 2018

VIENNA BLOOD




Mayat terpotong – pembunuhan dengan mutilasi – memunculkan berbagai symbol aneh, juga latar belakang korban yang acak. Dalam cekaman musim dingin Siberia 1902, Wina digunjang oleh pembunuhan berantai. Sang murid Freud, detektif psikoanalis Dr.Max Lieberman, kembali harus membantu sahabatnya, Inspektur Detektif Oskar Rheinhardt, memecahkan misteri rumit ini.

Penyelidikan pun membawa mereka pada sebuah perkumpulan rahasia, gerakan bawah tanah beranggotakan kaum elite sastra Jerman, pencetus teori rasial dan para ilmuwan yang terinspirasi oleh teori baru evolusi Inggris. Awalnya, pemikiran sang pembunuh seolah tak tertembus oleh interpretasi psikoanalisis. Namun lambat laun, semakin jelas bahwa latar belakang yang luar biasa dan mencengangkan mendasari tindakannya.

Sementara pada saat yang sama, Lieberman pun harus memecahkan misteri hati dan cintanya…..

-------------------------------------------------------------------------------------------------


Tokoh-tokoh dalam novel ini mengingatkan saya pada tokoh-tokoh rekaan Sir Arthur Conan Doyle dalam novel serialnya yang sangat terkenal: “Sherlock Holmes”. Perbedaannya adalah Doyle menjadikan sang detektif nyentrik sebagai tokoh utamanya sedangkan Tallis memilih seorang dokter yang tenang sebagai tokoh utama novel ini. Jika “Sherlock Holmes” penuh dengan berbagai trik-trik rumit yang terkadang melibatkan trik-trik mekanikal maka dalam “Vienna Blood” kita akan bertemu dengan kasus-kasus yang membutuhkan analisa psikologis. Ibaratnya, jika anda penggemar manga, maka anda akan melihat dua tipe cerita, yaitu “Detektif Conan” karya Aoyama Gosho dan “Dan Detective School”.

Tallis memverbalkan kondisi para korban dan semua kesadisan yang menimpa mereka dengan alur yang tidak terburu-buru. Pelan-pelan, tanpa melewatkan tiap detailnya. Namun, alur yang lambat dalam novel ini memberikan kesempatan bagi saya untuk berpikir: Siapakah pelakunya? Seperti apa pelakunya?

Ada satu lagi perbedaan besar antara Tallis dan Doyle: Porsi kisah asmara. Jika Doyle hanya menyempilkan kisah asmara dengan porsi terbatas, dan kadang terkesan seadanya saja, maka bagi Tallis asmara dan lingkungan di sekitar para tokoh sangat mempengaruhi pemikiran dan keputusan yang mereka ambil sehingga harus memiliki porsi cerita yang banyak. Khas seorang psikolog.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



INFORMASI PENULIS

“Vienna Blood” adalah novel yang ditulis oleh penulis Inggris, Frank Tallis. Web resmi Tallis adalah www.franktallis.com.

Tallis adalah seorang penulis dan psikolog klinis. Inilah mengapa novel-novelnya menggunakan metode psikoanalisis. Sebagai seoran psikolog Tallis adalah pakar dibidang obsesi. Selain sebagai seorang penulis dan psikolog, Tallis juga adalah seorang pengajar. Beliau mengajar psikologis klinis dan neurosains di Institute of Psychiatry dan King’s College London. Kini beliau menetap di London.



INFORMASI BUKU

“Vienna Blood” adalah buku kedua dari requiem “The Lieberman Papers”. Buku pertama dari requiem ini adalah “A Death In Vienna”. Requiem ini adalah kumpulan novel thriller yang menggunakan analisa psikologi karangan Frank Tallis. “Vienna Blood” diterbitkan pertama kali di Inggris pada tahun 2006.

Di Indonesia “Vienna Blood” sudah diterbitkan tanpa mengubah judul aslinya dan dijual bebas.

Judul Buku: Vienna Blood
Judul Asli: Vienna Blood
Negara Asal: Inggris
Genre: Novel
Kategori: Thriller & Psikoanalisis
Pengarang: Frank Tallis
Penerjemah: Berliani M.Nugrahani
Editor: M. Kadapi
Desain: Andreas Kusumahadi
Penerbit: Penerbit Qanita, Bandung
Cetakan I: Juli 2007 (tahun cetakan buku yang dibaca penulis resensi)
Diterbitkan di: Indonesia
Ukuran: 12,5 cm x 20,5 cm
Jumlah Halaman: 592 halaman
Jenis Sampul: Soft Cover
ISBN: 979-3269-63-4


Informasi Kontak Penerbit:
Penerbit Qanita (anggota IKAPI)
PT.Mizan Pustaka
Alamat: Jl.Cinambo No.135 (Cisaranten Wetan), Ujungberung, Bandung, Jawa Barat 40294
Website: www.mizan.com
Telepon: (+62 22)7483430
Faks: (+62 22)7834311

______________________________________________________________________________

Copyrights Article: Deleigeven Media
Copyrights Synopsis: Penerbit Qanita


PENYUSUN:
Penulis Resensi: Devy.R
Penulis Sinopsis: Editorial Penerbit Qanita
Informasi Penulis oleh: Devy.R
Informasi Buku dan Penerbit oleh: Deleigeven
Penyunting: Deleigeven & Juliet
Artikel ini diterbitkan pertama kali oleh: Deleigeven Media

-------------------------------------------------------------------------------------------------------